Momentum ramadhan sekarang ini bertepatan dengan momentum yang paling berkesan bagi bangsa Indonesia, yaitu peringatan ulang tahunnya. Kedua momen ini memiliki makna yang sangat sakral dan diagung-agungkan oleh bangsa Indonesia yang notabene sebagian besar beragama Islam. HUT RI sarat dengan makna-makna heroisme dan nasionalisme kabangsaan. Sementara ramadhan, dipenuhi dengan semangat religiusitas dan keimanan. Bagi bangsa Indonesia, bukan hanya bulan yang disucikan melainkan juga pada bulan itulah dulu kala Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan. Entah itu sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan, yang pasti bersamanya kedua momen tersebut secara berbarengan menimbulkan berbagai hikmah yang dapat digali dalam rangka menghembuskan nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai keagamaan.
Salah satu bentuk pengungkapan hikmah dari kedua moment, ada orang yang menyatakan moment terpenting dalam ramadhan adalah angka "17" dan angka "8"-nya. Dalam bahasa 'tafsir' agama angka 17 memang tidak ada yang istimewa, angka ini dimunculkan sebagai penekanan terhadap jumlah rakaat shalat lima waktu dan 17 Ramadhan yang diakui sebagai malam nuzulul qur'an. Bagi bangsa Indonesia, konsep ini sangat efektif kerena memang bangsa kita sangat simbolis, sehingga dengan memunculkan simbol-simbol tertentu akan lebih mampu memberikan pemahaman dan menggugahkan semangat. Sedangkan angka '8' ditafsirkan sebagai delapan permohonan seorang hamba yang selalu dielu-elukan dan dimohonkan kepada Allah dalam shalat, yaitu: pengampunan, kasih sayang, kekuatan, pengangkatan derajat, rizki, hidayah, kesehatan dan maaf-Nya.
Berbicara tentang ramadhan dalam moment kemerdekaan, seharusnya ramadhan mampu memerdekakan pelaksananya, sebagaimana kita harus mampu meramadhankan (menghangatkan) semangat kemerdekaan dalam jiwa kita.
Ramadhan sebagai moment yang baik untuk memerdekakan jiwa, setidaknya dapat dilihat dalam beberapa aspek:
1) Merdeka dari Perbudakan Syetan
Sebagai bangsa yang mengedepankan nilai-nilai agama, bahkan menjadi dasar pertama dalam Pancasila dan ungkapan pertama dalam mukadimah UUD 45, selayaknya kemerdekaan bukan hanya dimaknai sebagai kebebasan kita dari penjajah bangsa lain. Kemerdekaan harus mampu memerdekakan kita dari perbudakan terhadap bujuk rayu syetan. Syetan harus menjadi musuh kita yang paling utama yang harus diperangi dengan sepenuh hati sampai titik darah penghabisan.
Gambaran tentang syetan sangatlah gamblang dan jelas di dalam al-Qur'an. Inti dari syetan itu adalah misi untuk menggelincirkan umat manusia agar tidak menyembah Allah. Bentuk ketidakmenyembahan itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk permusuhan dan kedua dalam bentuk penyimpangan. Memusuhi agama Allah, berarti kafir. Kafir adalah produk syetan yang menjadi sebutan bagi orang-orang yang mendukung rekayasa kerja syetan di dunia ini. Gambaran dan karakteristiknya juga sangat jelas di dalam al-Qur'an. Orang kafir adalah yang jelas-jelas dan terang-terangan menentang ajaran Allah. Dia lebih memilih pemimpin mereka sebagai dari bangsa syetan. Golongan kedua, adalah mereka yang menyimpang dari ajaran Allah. Tujuan mereka adalah menggapai Allah, akan tetapi mereka telah tertipu oleh syetan-syetan, sehingga meninggalkan jalan lurus menuju Allah ke jalan yang justru akan semakin membuat mereka jauh dari Allah.
Kedua kelompok ini adalah mereka yang belum mampu memerdekakan jiwanya dari genggaman penjajahan syetan, atau mereka yang lebih senang menyerah kepada bujuk rayunya. Naudzu billah!
Berapa banyak dari bangsa kita yang mengaku bahwa mereka jelas-jelas menganggap agama sebagai rintangan atas misi mereka, dan berapa banyak pula dari anak bangsa ini yang mengaku beragama akan tetapi perbuatannya justru menodai agama.
Ramadhan sekarang sudah saatnya dijadikan momentum jihad melawan syetan. Karena disanalah jalan menuju Allah terbuka lebar, bertabur bunga di kiri kanannya!
2) Merdeka dari Perbudakan Nafsu
Nafsu adalah potensi yang tumbuh azali dalam diri manusia. Para ulama membagi nafsu ke dalam beberapa bagian, dimana dari sekian bagian nafsu tersebut hanya satu nafsu yang akan menyelamatkan manusia yaitu nafsu al-muthmainnah.
Memerdekakan diri dari perbudakan nafsu adalah misi terbesar yang disampaikan oleh Nabi pasca mereka menyelesaikan peperangan Badar. Konon katanya perang Badar adalah peperangan yang paling berat, sehingga para shahabat merasa khawatir akan menghadapi peperangan yang lebih besar darinya. Rasulullah menegaskan bahwa ada perang yang lebih besar daripada perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Tentu saja, perang mewalan hawa nafsu akan berbeda dengan perang melawan syetan sebagai musuh yang jelas. Kadang kita mampu menghindarkan diri dari gangguan syetan, tetapi justru terjebak dalam perbudakan nafsu.
Membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu adalah dengan mengendalikannya. Itulah makna hakiki dari ibadah ramadhan. Menghancurkannya berarti menghancurkan diri kita sendiri. Mengendalikan berarti mengarahkan, menggembalakan dan mentransformasikannya. Orang yang merdeka adalah orang yang mampu mengarahkan nafsu-nafsu dirinya menjadi nafsu yang tenang dan menenangkan.
Seorang hamba yang telah mampu menundukkan nafsunya mereka adalah pemenang yang pantas mendapat gelar "kayaumin waladathu ummuhu" orang yang bersih-suci.
Bercermin dari hikmah di atas, seharunya mampu menjadi pelajaran bahwa dengan ramadhan sudah saatnya kita mampu mengendalikan nafsu-nafsu yang ada pada diri kita: nafsu menguasai, nafsu memangsa, nafsu menjatuhkan dan nafsu-nafsu lainnya.
Dan satu hal yang perlu diingat bahwa nafsu manusia adalah titik kelemahan manusia dalam menjalankan jihad melawan syetan dan iblis. Karena itulah, maka sebelum kita mampu melawan syetan nafsu dululah yang harus ditundukkan.
Untuk dapat melepaskan diri dari kedua perbudakan tersebut, sebetulnya secara implisit al-Qur'an menyatakan dengan jelas yaitu dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menegaskan makna kemahamengurusan Tuhan
Dalam bahasa tauhid makna ini diakui sebagai tauhid rububiyah. Orang yang merdeka adalah orang yang mengakui kekuasaan Allah atas segala makhluk di bumi dan di langit. Orang yang merdeka adalah yang mengakui bahwa Allahlah yang mengurus semuanya bahkan sampai detak jantungnya. Dengan demikian, maka tidak akan ada lagi tempat bergantung selain kepada-Nya. Tidak ada lagi tempat memohon kecuali kepada-Nya. dan tidak ada lagi tempat kembali kecuali ke hadirat-Nya.
Dengan pengakuan terhadap rububiyah Allah, maka manusia tidak akan lagi terkekang oleh berbagai beban yang datang menghajarnya. Karena segalanya memang telah diatur oleh Allah.
2) Menegaskan makna kemahapemilikan Allah
Satu hal yang sering menjadi penyakit manusia adalah bahwa apapun yang diberikan Allah kepadanya diakui sebagai hasil jerih payahnya sehingga timbul kesombongan dan keangkuhan. Rizki yang diberikan oleh Allah dianggap sebagai buah dari kepintaran dan kepandaiannya.
Hal inilah yang menjadi penyakit yang nyata, karena ketika rizki tersebut diambil oleh Yang Maha Kuasa akan timbul rasa kecewa, dongkol bahkan marah. Ketika hal itu terjadi, maka berarti kita sudah diperbudak oleh dunia yang diberikan Allah. Padahal jelas-jelas bahwa harta adalah ujian dari Allah.
Dengan moment ramadhan, selayaknya bahwa makna kemahapemilikan Allah dapat diterapkan di dalam jiwa kita, sehingga kita mampu merasakan bahwa jangankan hanya harta jiwapun akan aku relakan. "inna shalati, wanusuki, wa mahyaya, wa mamati lillahi rabbil 'alamin".
3) Menegaskan makna Ketuhanan hanya untuk Allah
Diakui atau tidak, manusia sudah banyak menjadikan Tuhan selain Allah baik disengaja ataupun tidak. Dengan ramadhan, seharusnya kita mampu menegaskan bahwa Ketuhanan itu hanya bagi Allah, selainnya tidak ada. Mengakui adanya Tuhan selain Allah adalah kemusyrikan, dan kemusyrikan adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah.
Menegaskan makna ketuhanan (tauhid uluhiyyah) adalah bentuk pemerdekaan jiwa paling tertinggi. Karena hanya dengan mengakui Allah sebagai tuhan kita dengan sepenuh hati, maka kemerdekaan jiwa kita akan tercapai. Jadi, dapat dikatakan bahwa puncak kemerdekaan jiwa adalah ketika jiwa kita mengakui Allah adalah Tuhan. Inilah yang digambarkan dalam sejarah perjalanan ruh manusia. "alastu birobbikum. qalu bala syahidna".
Dengan menegaskan ketiga metode pemerdekaan tersebut, maka Allah menjamin bahwa kita tidak akan lagi tergoda oleh rayuan syetan dan iblis, sedasyat apapun. Dan juga kita tidak akan tunduk dengan nafsu sayyiat yang ada pada diri kita.
Berbicara bangsa, berarti berbicara manusia karena tidak mungkin ada bangsa tanpa ada manusia. Karena itu, kemerdekaan suatu bangsa adalah sejauhmana manusia-manusianya telah lepas dari dua bentk perbudakan dan mampu menegaskan 3 metode memerdekakan jiwanya. Karena itulah maka para pebijak bangsa kita dulu kala mencantumkan bahwa kemerdekaan merupakan karunia Allah SWT. dengan demikian ada peran yang dominan dari Allah SWT sehingga bangsa ini lepas dari penjajahan bangsa Asing. Dengan demikian kemerdekaan bangsa ini adalah ketika kita mampu membawa bangsa ini menuju jalan Allah, sehingga tercipta kondisi "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur".
Mudah-mudahan dapat menjadi renungan bagi kita demi membangun bangsa ini menuju keridhaanya sebagai amanat dari pesan kemerdekaan.
Salah satu bentuk pengungkapan hikmah dari kedua moment, ada orang yang menyatakan moment terpenting dalam ramadhan adalah angka "17" dan angka "8"-nya. Dalam bahasa 'tafsir' agama angka 17 memang tidak ada yang istimewa, angka ini dimunculkan sebagai penekanan terhadap jumlah rakaat shalat lima waktu dan 17 Ramadhan yang diakui sebagai malam nuzulul qur'an. Bagi bangsa Indonesia, konsep ini sangat efektif kerena memang bangsa kita sangat simbolis, sehingga dengan memunculkan simbol-simbol tertentu akan lebih mampu memberikan pemahaman dan menggugahkan semangat. Sedangkan angka '8' ditafsirkan sebagai delapan permohonan seorang hamba yang selalu dielu-elukan dan dimohonkan kepada Allah dalam shalat, yaitu: pengampunan, kasih sayang, kekuatan, pengangkatan derajat, rizki, hidayah, kesehatan dan maaf-Nya.
Berbicara tentang ramadhan dalam moment kemerdekaan, seharusnya ramadhan mampu memerdekakan pelaksananya, sebagaimana kita harus mampu meramadhankan (menghangatkan) semangat kemerdekaan dalam jiwa kita.
Ramadhan sebagai moment yang baik untuk memerdekakan jiwa, setidaknya dapat dilihat dalam beberapa aspek:
1) Merdeka dari Perbudakan Syetan
Sebagai bangsa yang mengedepankan nilai-nilai agama, bahkan menjadi dasar pertama dalam Pancasila dan ungkapan pertama dalam mukadimah UUD 45, selayaknya kemerdekaan bukan hanya dimaknai sebagai kebebasan kita dari penjajah bangsa lain. Kemerdekaan harus mampu memerdekakan kita dari perbudakan terhadap bujuk rayu syetan. Syetan harus menjadi musuh kita yang paling utama yang harus diperangi dengan sepenuh hati sampai titik darah penghabisan.
Gambaran tentang syetan sangatlah gamblang dan jelas di dalam al-Qur'an. Inti dari syetan itu adalah misi untuk menggelincirkan umat manusia agar tidak menyembah Allah. Bentuk ketidakmenyembahan itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk permusuhan dan kedua dalam bentuk penyimpangan. Memusuhi agama Allah, berarti kafir. Kafir adalah produk syetan yang menjadi sebutan bagi orang-orang yang mendukung rekayasa kerja syetan di dunia ini. Gambaran dan karakteristiknya juga sangat jelas di dalam al-Qur'an. Orang kafir adalah yang jelas-jelas dan terang-terangan menentang ajaran Allah. Dia lebih memilih pemimpin mereka sebagai dari bangsa syetan. Golongan kedua, adalah mereka yang menyimpang dari ajaran Allah. Tujuan mereka adalah menggapai Allah, akan tetapi mereka telah tertipu oleh syetan-syetan, sehingga meninggalkan jalan lurus menuju Allah ke jalan yang justru akan semakin membuat mereka jauh dari Allah.
Kedua kelompok ini adalah mereka yang belum mampu memerdekakan jiwanya dari genggaman penjajahan syetan, atau mereka yang lebih senang menyerah kepada bujuk rayunya. Naudzu billah!
Berapa banyak dari bangsa kita yang mengaku bahwa mereka jelas-jelas menganggap agama sebagai rintangan atas misi mereka, dan berapa banyak pula dari anak bangsa ini yang mengaku beragama akan tetapi perbuatannya justru menodai agama.
Ramadhan sekarang sudah saatnya dijadikan momentum jihad melawan syetan. Karena disanalah jalan menuju Allah terbuka lebar, bertabur bunga di kiri kanannya!
2) Merdeka dari Perbudakan Nafsu
Nafsu adalah potensi yang tumbuh azali dalam diri manusia. Para ulama membagi nafsu ke dalam beberapa bagian, dimana dari sekian bagian nafsu tersebut hanya satu nafsu yang akan menyelamatkan manusia yaitu nafsu al-muthmainnah.
Memerdekakan diri dari perbudakan nafsu adalah misi terbesar yang disampaikan oleh Nabi pasca mereka menyelesaikan peperangan Badar. Konon katanya perang Badar adalah peperangan yang paling berat, sehingga para shahabat merasa khawatir akan menghadapi peperangan yang lebih besar darinya. Rasulullah menegaskan bahwa ada perang yang lebih besar daripada perang Badar, yaitu perang melawan hawa nafsu. Tentu saja, perang mewalan hawa nafsu akan berbeda dengan perang melawan syetan sebagai musuh yang jelas. Kadang kita mampu menghindarkan diri dari gangguan syetan, tetapi justru terjebak dalam perbudakan nafsu.
Membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu adalah dengan mengendalikannya. Itulah makna hakiki dari ibadah ramadhan. Menghancurkannya berarti menghancurkan diri kita sendiri. Mengendalikan berarti mengarahkan, menggembalakan dan mentransformasikannya. Orang yang merdeka adalah orang yang mampu mengarahkan nafsu-nafsu dirinya menjadi nafsu yang tenang dan menenangkan.
Seorang hamba yang telah mampu menundukkan nafsunya mereka adalah pemenang yang pantas mendapat gelar "kayaumin waladathu ummuhu" orang yang bersih-suci.
Bercermin dari hikmah di atas, seharunya mampu menjadi pelajaran bahwa dengan ramadhan sudah saatnya kita mampu mengendalikan nafsu-nafsu yang ada pada diri kita: nafsu menguasai, nafsu memangsa, nafsu menjatuhkan dan nafsu-nafsu lainnya.
Dan satu hal yang perlu diingat bahwa nafsu manusia adalah titik kelemahan manusia dalam menjalankan jihad melawan syetan dan iblis. Karena itulah, maka sebelum kita mampu melawan syetan nafsu dululah yang harus ditundukkan.
Untuk dapat melepaskan diri dari kedua perbudakan tersebut, sebetulnya secara implisit al-Qur'an menyatakan dengan jelas yaitu dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menegaskan makna kemahamengurusan Tuhan
Dalam bahasa tauhid makna ini diakui sebagai tauhid rububiyah. Orang yang merdeka adalah orang yang mengakui kekuasaan Allah atas segala makhluk di bumi dan di langit. Orang yang merdeka adalah yang mengakui bahwa Allahlah yang mengurus semuanya bahkan sampai detak jantungnya. Dengan demikian, maka tidak akan ada lagi tempat bergantung selain kepada-Nya. Tidak ada lagi tempat memohon kecuali kepada-Nya. dan tidak ada lagi tempat kembali kecuali ke hadirat-Nya.
Dengan pengakuan terhadap rububiyah Allah, maka manusia tidak akan lagi terkekang oleh berbagai beban yang datang menghajarnya. Karena segalanya memang telah diatur oleh Allah.
2) Menegaskan makna kemahapemilikan Allah
Satu hal yang sering menjadi penyakit manusia adalah bahwa apapun yang diberikan Allah kepadanya diakui sebagai hasil jerih payahnya sehingga timbul kesombongan dan keangkuhan. Rizki yang diberikan oleh Allah dianggap sebagai buah dari kepintaran dan kepandaiannya.
Hal inilah yang menjadi penyakit yang nyata, karena ketika rizki tersebut diambil oleh Yang Maha Kuasa akan timbul rasa kecewa, dongkol bahkan marah. Ketika hal itu terjadi, maka berarti kita sudah diperbudak oleh dunia yang diberikan Allah. Padahal jelas-jelas bahwa harta adalah ujian dari Allah.
Dengan moment ramadhan, selayaknya bahwa makna kemahapemilikan Allah dapat diterapkan di dalam jiwa kita, sehingga kita mampu merasakan bahwa jangankan hanya harta jiwapun akan aku relakan. "inna shalati, wanusuki, wa mahyaya, wa mamati lillahi rabbil 'alamin".
3) Menegaskan makna Ketuhanan hanya untuk Allah
Diakui atau tidak, manusia sudah banyak menjadikan Tuhan selain Allah baik disengaja ataupun tidak. Dengan ramadhan, seharusnya kita mampu menegaskan bahwa Ketuhanan itu hanya bagi Allah, selainnya tidak ada. Mengakui adanya Tuhan selain Allah adalah kemusyrikan, dan kemusyrikan adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah.
Menegaskan makna ketuhanan (tauhid uluhiyyah) adalah bentuk pemerdekaan jiwa paling tertinggi. Karena hanya dengan mengakui Allah sebagai tuhan kita dengan sepenuh hati, maka kemerdekaan jiwa kita akan tercapai. Jadi, dapat dikatakan bahwa puncak kemerdekaan jiwa adalah ketika jiwa kita mengakui Allah adalah Tuhan. Inilah yang digambarkan dalam sejarah perjalanan ruh manusia. "alastu birobbikum. qalu bala syahidna".
Dengan menegaskan ketiga metode pemerdekaan tersebut, maka Allah menjamin bahwa kita tidak akan lagi tergoda oleh rayuan syetan dan iblis, sedasyat apapun. Dan juga kita tidak akan tunduk dengan nafsu sayyiat yang ada pada diri kita.
Berbicara bangsa, berarti berbicara manusia karena tidak mungkin ada bangsa tanpa ada manusia. Karena itu, kemerdekaan suatu bangsa adalah sejauhmana manusia-manusianya telah lepas dari dua bentk perbudakan dan mampu menegaskan 3 metode memerdekakan jiwanya. Karena itulah maka para pebijak bangsa kita dulu kala mencantumkan bahwa kemerdekaan merupakan karunia Allah SWT. dengan demikian ada peran yang dominan dari Allah SWT sehingga bangsa ini lepas dari penjajahan bangsa Asing. Dengan demikian kemerdekaan bangsa ini adalah ketika kita mampu membawa bangsa ini menuju jalan Allah, sehingga tercipta kondisi "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur".
Mudah-mudahan dapat menjadi renungan bagi kita demi membangun bangsa ini menuju keridhaanya sebagai amanat dari pesan kemerdekaan.
