Bangsa Indonesia sebentar lagi akan menggelar hajat besar dalam rangka menyukuri detik-detik kemerdekaannya. Setiap tanggal 17 Agustus kita selalu memperingati kemerdekaan RI dengan kegiatan-kegiatan upacara bendera. Sebelum dan sesudahnya biasa dilaksanakan berbagai aktivitas dan kegiatan yang dinisbatkan kepada hari kemerdekaan itu, mulai dari pentas seni, hingga olahraga. Kegiatan yang dilaksanakan biasanya diikuti oleh seluruh anak-anak dan orang dewasa, bahkan para manula.
Berbagai bentuk kemeriahan menandakan sebuah kegembiraan karena bangsa kita telah menjadi bangsa yang merdeka. Namun apakah benar bangsa ini telah merdeka?
Makna kemerdekaan yang sekarang kita pahami adalah kebebasan kita dari penjajahan bangsa asing menjadi bangsa yang mandiri yang dapat menentukan masa depan oleh dirinya sendiri. Dahulu kala, para tokoh bangsa mengorbankan jiwa dan raganya agar bangsa ini terbebas dari jeratan penjajahan dari bangsa Belanda dan Jepang, serta sekutu-sekutunya. Darah mereka telah menjadi ‘tumbal’ bagi kebebasan bangsa ini. Bagi mereka harga sebuah kemerdekaan seimbang dengan nyawanya, sehingga lebih baik mati daripada tidak merdeka. Hany ada dua pilihan pada diri mereka, merdeka atau mati.
Kemerdekaan yang telah ditebus oleh darah dan tulang para pahlawan bangsa ini harus kita dipertahankan. Kemerdekaan bangsa sekarang perlu dimaknai dengan makna yang lebih umum. Artinya bahwa kemerdekaan bangsa ini harus dimaknai sebagai kemerdekaan dari berbagai aspek yang membuat negara ini bisa runtuh. Keruntuhan suatu bangsa sangat tergantung kepada sejauhmana kekuatan mental bangsa itu dalam memaknai kemerdekaannya. Dari sinilah berawalknya sebuah pertanyaan, “sudahkan kita merdeka?”.
Kemerdekaan yang telah diperjuangkan dan didapat oleh bangsa kita, sedikit demi sedikit mulai terkikis, bukan karena datangnya para penjajah, melainkan karena kita memiliki mental yang tidak merdeka. Mental kita telah dibentuk menjadi mental yang selalu menggantungkan diri kepada orang lain, mental yang selalu menyandarkan kepada berbagai kepentingan dan keperluan. Yang lebih ironis, adalah bangsa kita telah tumbuh menjadi bangsa yang memiliki mental penjajah.
Berikut ini adalah sikap dan karakteristik yang menunjukkan mental penjajah:
1) Eksploitasi
Eksploitasi merupakan salah satu bentuk dari mental penjajah. Dalam kadar tertentu, eksploitasi dapat dikatakan wajar dan baik, jika itu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Tetapi, jika eksploitasi dilakukan oleh perseorangan, untuk kepentingan seseorang, maka sudah lain. Berbagai bencana yang akhir-akhir ini melanda bangsa (biasanya masyarakat yang menjadi korban), adalah akibat dari proses eksploitasi yang berlebihan (biasanya hanya kepentingan orang-orang tertentu).
2) Menghalalkan segala cara
Mental penjajah kedua inilah yang menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang bobrok. Cara-cara yang tidak baik (haram) sudah sering dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai aparat negara, wakil rakyat, pemerintah dan orang-orang penting. Korupsi, kolusi dan sejenisnya merupakan langkah-langkah menghalalkan segala cara hanya untuk kepentingan perseorangan. Mental seperti ini adalah duri dalam daging, yang jika dibiarkan maka daging akan membusuk. Demikian pula dengan bangsa ini, jika orang-orang yang memiliki mental ini dibiarkan bebas berkeliaran di negara ini, maka lama-lama bangsa ini akan busuk dan mati.
3) Penindasan dan Kekerasan
Penindasan adalah bentuk dan kekerasan adalah bentuk-bentuk perbuatan yang sering dilakukan oleh para penjajah. Demi membela kepentingan dengan dalih ‘atas nama stabilitas bangsa’ penindasan dan kekerasan diperbolehkan. Penindasan dan kekerasan, hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan (power) dan yang menjadi korban adalah orang-orang yang lemah dan mereka adalah masyarakat. Bagaimana bangsa ini menjadi bangsa yang kuat, jika masyarakatnya terus ditindas dan ditindak dengan kekerasan.
4) Adu domba
Mengadu domba adalah mental penjajah yang paling manjur untuk menghancurkan suatu bangsa. Adu domba adalah strategi terampuh dalam memecah belah kekuatan sehingga menjadi kekuatan-kekuatan kecil. Setiap hari kita disuguhi tayangan dan informasi bagaimana antaraparat pemerintah saling serang, saling menjelekkan dan saling menjatuhkan. Masing-masing mengakui bahwa dirinya adalah paling benar, tidak yang lain. Klimaknya adalah yang kuat akan menang dan lemah harus bertekuk lutut. Siapa yang korban? Tentu masyarakat lagi!
5) Pembodohan
Pembodohan adalah upaya penjajah dalam rangka menciptakan kondisi masyarakat tidak memiliki kekuatan ilmu. Pendidikan adalah langkah yang paling manjur untuk menghilangkan kebodohan ini. Hingga sekarang, kebijakan tentang pendidikan lahir dari sebuah adu tawar politis (political bargaining). Kebijakan tentang pendidikan di Indonesia tidak terlahir dari sebuah tuntutan mulia bahwa bangsa ini harus cerdas, melainkan dari berbagai kepentingan-kepentingan yang lebih bersifat politis.
6) Dengan uang segalanya beres
Mental yang menjadi trend di masa kini adalah bahwa segala urusan dapat beres dengan uang. ‘kullu syai’in bil fulusy… mulusy’. Mental ini menggerogoti di berbagai kalangan mulai dari kalangan terendah hingga tingkat tinggi. Yang paling menyedihkan adalah ‘jargon’ ini sudah menjadi budaya dari masyarakat kita. Dengan uang: PNS ditangan, kursi legislatif terjamin, pekerjaan lancar dan sebagainya.
7) Cari korban
Mencari korban biasanya ketika suatu persoalan sudah dapat diselesaikan dengan akal dingin. Mencari korban adalah langkah terbaik agar seseorang terbebas dari tuntutan dan tanggungjawab.
Masih banyak mental-mental penjajah yang bersarang pada pikiran dan otak generasi penerus perjuangan bangsa ini. Kemerdekaan yang telah susah payah dicapai kini tinggal menunggu tanggalnya untuk mencapai keruntuhan, jika mental-mental tersebut masih tetap bersarang pada orang-orang di negara ini.
Seandainya kita dapat bertanya kepada mereka yang telah gugur dalam merebut kemerdekaan RI, maka jawabannya adalah “lillahi ta’ala”, karena Allah. Mereka tidak ingin dikenang, mereka tidak menghendaki penghargaan, mereka tidak menghendaki kekayaan, mereka tidak menginginkan sesuatu apapun. Keingin terdalam mereka adalah ‘bangsa ini merdeka di bawah bendera rahmat dan maghfirah Allah SWT’. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
(Wallahu a’lam)