Mendidik dengan Hukuman
Pada dasarnya tidak ada seorangpun yang menganggap bahwa hukuman (sanksi) merupakan aktivitas yang harus dilakukan seorang pendidik pada saat menghadapi peserta didiknya melanggar aturan. Hukuman hanyalah sebuah alternatif yang dapat dilakukan pada saat tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, hukuman (sanksi) hanya dijatuhkan pada saat berada dalam kondisi luar biasa, karena menghukum bukanlah karakteristik seorang pendidik.Meski demikian antara mendidik dengan menghukum (sanksi) dapat memiliki keterkaitan dalam artian bahwa hukuman merupakan salah satu metode mendidik. Sebagaimana hal metode, ada kelebihan dan kekurangannya tergantung kepada faktor-faktor internal maupun eksternal penerapan metode tersebut. Mendidik melalui hukuman dapat saja menjadi positif pada saat tertentu, dan kadang justru sangat berbahaya pada kondisi lain.
Karenanya, maka perlu ada pengemasan dan formulasi khusus dalam memberikan hukuman kepada peserta didik yang kemudian dikenal dengan sebutan "hukuman yang mendidik". Memang sulit untuk mendefinisikan secara khusus hukuman seperti apa persisnya yang dikatakan sebagai hukuman yang mendidik. Misalnya, ada seorang guru olahraga biasa menghukum peserta didiknya yang melanggar dengan melakukan push-up atau lari keliling lapangan. Hukuman itu dikatakan olehnya sebagai hukuman yang mendidik, karena selain membuat siswa jera juga membuat badan jadi sehat dan kuat. Persoalannya, apakah hukuman tersebut menjadi baku, sehingga ketika pelanggaran itu dilakukan siswa pada saat pelajaran kesenian kemudian gurunya menyuruhnya untuk push-up atau lari keliling lapangan. Tentu saja, tidak demikian! Karena kalau ditanya, kenapa bapak/ibu menyuruhnya push-up atau lari? Kenapa tidak disuruh menyanyikan "do-re-mi-fa-sol-la-si-do" saja! Itu kan lebih berguna bagi dia dan pelajaran yang sedang diikutinya.
Pada sekolah-sekolah tertentu, ada yang memberlakukan aturan pemberian sanksi dengan sistem point. Awalnya siswa diberikan tabungan point (misalnya 100 point) untuk selama sekolah. Setiap kali siswa melanggar, maka pointnya akan dikurangi hingga akhirnya ia harus dikeluarkan dari sekolah karena jumlah point pelanggarannya telah melebihi dari 100 point tabungannya. Ada juga sekolah yang memberlakukan tambahan point ketika siswa melakukan kebaikan, misalnya bersedekah dapat tambahan 5 point dan sebagainya.
Sistem point seperti di atas biasanya didasarkan pada sistem reward and punnishment, meski kadang indikatornya masih kabur dan blur. Sistem seperti di atas dapat saja efektif karena siswa yang harus mengontrol sejauh mana point mereka rontok atau akan habis bila melakukan sebuah pelanggaran. Namun di sisi lain, sistem ini memberikan peluang kepada siswa-siswa 'pinter' untuk tetap melakukan pelanggaran (meski kecil-kecilan). Ibarat kata pepatah salah kaprah "gunakan hidup untuk senang-senang mungpung masih muda, baru nanti kalau sudah tua kita beramal yang banyak". Prinsip ini jelas salah!
Bentuk lain dari hukuman yang sering diberlakukan pada "sekolah-sekolah" adalah hukuman semi militer. Misalnya, menampar wajah adalah hal yang biasa. Bahkan sudah menjadi tradisi yang harus dihadapi oleh setiap siswanya. Belum diakui sebagai siswa di "sekolah ini" sebelum mendapatkan tamparan. Sistem ini cenderung melahirkan gangguan psikologis bagi para peserta didik. Seharusnya seseorang dengan usia sekolah mendapatkan curahan kasih sayang dan ilmu pengetahuan, malah mendapatkan pendidikan kekerasan. Sehingga tidak jarang, sikap "sekolah" seperti ini berbekas kuat pada lulusannya yang cenderung keras, menindas dan kasar.
Dari kasus-kasus di atas, setidaknya kita dapat melihat bahwa hukuman (sanksi) yang mendidik haruslah:
- menimbulkan efek jera
- menimbulkan perubahan perilaku, pengetahuan dan skill kepada tingkatan yang lebih baik
- tidak memberikan peluang untuk berbuat pelanggaran lainnya yang lebih ringan ataupun lebih berat
- memberikan dampak kejiwaan positif bagi dirinya dan lingkungannya.
- Hukuman jangan merupakan pencerminan sikap menguasai anak.
- Hukuman tidak boleh melampaui daya tanggap anak tentang hubungannya dengan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukannya.
- Hukuman atas pelanggaran atau pengulangan pelanggaran yang sama hendaknya lebih berat dari hukuman semula, maka anak telah sempat memperhitungkan berat ringannya hukumannya, kalau perbuatan salah itu diulanginya.
- Hukuman tidak boleh menghina dan mengejek anak.
Teori-Teori tentang Hukuman (Sanksi)
Amir Daien Indra Kusumah (1973: 148-151) menyatakan adanya beberapa teori-teori yang berbicara mengenai hukuman (sanksi), sebagai berikut:- Teori Hukuman Alam
Teori hukuman itu dikemukakan oleh J.J. Rousseau, menurutnya bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan. Hukuman harus merupakan sesuatu yang nature, sesuai hukum-hukum alam, sesuatu akibat logis yang tidak dibuat-buat. Misalnya, anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jadi ini adalah merupakan hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatannya memanjat pohon. Teori hukuman ini kurang sesuai diterapkan, karena sering akibat dari hukuman alam ini terlalu berat jika dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan. Sehingga kita cenderung melarang lebih dulu, daripada menanggung akibatnya. - Teori Ganti rugi
Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung resiko dari perbuatannya. Misalnya, anak yang mengotorkan atau merobekkan buku dari kawannya, harus menggantinya Anak yang berkejar-kejaran di kelas kemudian memecahkan kaca jendela, ia harus mengganti kaca jendela itu dengan yang baru. Kelemahan dari teori ganti rugi ini ialah, bahwa sangat diragukan adanya nilai didik dari hukuman ini. Bagi anak yang tidak mampu, hukuman demikian dirasa berat sekali, karena ia tidak sanggup memenuhi hukuman itu. Dan bagi anak yang mampu, dengan mudah ia dapat membelikan gantinya. Tidak ada sama sekali kesan dari hukuman yang diterimanya. Dengan begitu hukuman ini tidak mempunyai arti baginya untuk masa yang akan datang. - Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini hukuman diberikan untuk menakuti-nakuti anak, agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang itu. Perlu diperhatikan bahwa apabila anak tidak mengulangi kesalahan karena rasa takut, bukan karena adanya kesadaran, kemungkinan besar ia akan mengulangi perbuatannya. Dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman ini sangat minim sekali. - Teori Balas Dendam
Macam hukuman yang paling tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan pada rasa sentimen. - Teori Memperbaiki
Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki. Hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsyafan atas kesalahan yang diperbuatnya. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuma pedagogis.
Hukuman yang diterapkan pada anak dalam usaha-usaha pendidikan, hendaknya benar-benar bersifat mendidik atau dengan perkataan lain bahwa hukuman benar-benar demi perkembangan anak, yakni bertujuan memperbaiki tingkah lakunya.